"Naiknya elektabilitas Prabowo dari 6,7 persen menjadi 14,6 persen selama Januari-Juli, juga diikuti dengan kenaikan dukungan bagi Partai Gerindra dari 3 persen menjadi 5,2 persen selama periode yang sama. Trend yang sama juga bisa dilihat pada PDI-P dengan Megawati dan Golkar dengan Aburizal Bakrie," ujar peneliti CSIS, Philips Vermonte.
Hal itu disampaikan dia saat mempresentasikan hasil surveinya di kantor The Jakarta Post, Jl Palmerah Barat, Jakarta Pusat, Rabu (8/8/2012).
Sebaliknya menurut Philips, turunnya dukungan bagi Partai Demokrat dan juga PAN, juga terjadi bersamaan dengan turunnya elektabilitas dari Anas Urbaningrum dan Hatta Rajasa.
"Ini memperkuat kritik terhadap partai politik Indonesia yang gagal menciptakan pelembagaan (institusionalisasi) dan menanamkan akar yang lebih ideologis berbasis affairs kepada para pemilih," tuturnya.
Ia menjelaskan, hampir semua partai sangat bergantung pada figur atau tokoh, dan sebagian besar sangat bergantung pada Ketua Umumnya. Sialnya, pemilih di Indonesia hari ini menilai bahwa di antara nama-nama yang selama ini beredar dalam atrium pemimpin nasional 2014, tidak ada yang layak menjadi presiden.
"Dengan kata lain, pemilih dipaksa memilih diantara nama-nama yang sebetulnya mereka nilai tidak layak menjadi presiden," kata Philips
Survei bulan Juli 2012 ini memperlihatkan bahwa tokoh adalah vote-getter batten utama dari setiap partai politik. Partai politik yang memiliki figur kuat cenderung mendapatkan dukungan yang lebih besar, demikian sebaliknya.
"75,1 persen pemilih PDI-P menyatakan akan memilih Megawati bila pemilu presiden diadakan hari ini. Sementara 84,9 persen pemilih Gerindra menyatakan akan memilih Prabowo," ungkapnya.
"Ketergantungan tinggi pada tokoh dan 'ketidaklayakan' para calon yang dinyatakan oleh pemilih, bermuara pada satu hal, kegagalan partai politik melakukan pelembagaan partai yang sehat dan demokratis," imbuhnya.(KCM/Dtk/@cool)