Satelit9.com-Ketika kita dihadapkan pada realitas maraknya ancaman bom, maka kita seharusnya sadar bahwa NKRI sedang dalam ancaman. Pada Agustus 2012, tiga peristiwa teror terjadi di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Sasarannya polisi.
Teror pertama pada 17 Agustus. Ketika itu, dua orang berboncengan sepeda motor memberondongkan tembakan ke arah dua polisi yang sedang berjaga di Pos Pengamanan Lebaran Gamblengan. Kedua polisi terluka.
Hanya berselang satu hari, giliran Pos Pengamanan Gladag yang menjadi sasaran teror. Dua orang berboncengan sepeda motor melemparkan granat ke aras pos pengamanan. Tidak ada korban dalam peristiwa itu.
Terakhir, Bripka Dwi Data Subekti gugur diberondong tembakan ketika berjaga di Pos Polisi Plaza Singosaren. Pelaku terdiri dari dua orang yang berboncengan sepeda motor.
Tiga peristiwa itu memiliki tiga kesamaan. Pertama, polisi sebagai sasaran. Kedua, teror terjadi di Surakarta. Ketiga, pelaku terdiri dari dua orang yang berboncengan sepeda motor.
Pola-pola tersebut menunjukkan ketiga peristiwa di Surakarta itu jelas serangan terorisme. Serangan terorisme biasanya memiliki pola atau modus tertentu dalam rentang waktu tertentu.
Sebelumnya, modus teror ialah dengan bom mobil dan menjadikan kepentingan asing sebagai sasaran. Bom Bali pertama, bom Kedubes Australia, dan bom JW Marriott pertama memakai modus atau pola tersebut.
Modus teror kemudian berubah dengan menggunakan bom manusia, tetapi sasarannya tetap kepentingan asing. Bom Bali kedua dan bom JW Marriott kedua menggunakan modus seperti itu.
Dalam kasus teror Surakarta, pertanyaannya mengapa Surakarta? Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mendeteksi Surakarta sebagai satu dari 12 daerah kantong terorisme di Indonesia. Jadi, tidak ada hubungannya teror Surakarta dengan Wali Kota Surakarta Joko Widodo yang berpeluang besar menjadi Gubernur Jakarta dalam putaran kedua pemilu kada DKI.
Pertanyaan berikutnya, mengapa polisi? Polisi, melalui Densus 88, dianggap sukses memberantas terorisme. Polisi menjadi musuh besar teroris sehingga polisi menjadi sasaran teror.
Bukan dalam teror Surakarta saja polisi menjadi target. Sebelumnya polisi menjadi sasaran bom bunuh diri di Kantor Polresta Cirebon pada 2011. Pada 2010, tiga polisi yang sedang berjaga di Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumut, tewas diberondong tembakan teroris.
Modus yang berpola itu membantu polisi mengungkapkan kasus teror Surakarta. Terkait dengan polisi sebagai sasaran, mungkin saja pelaku teror Surakarta mempunyai hubungan dengan pelaku teror Cirebon dan Deli Serdang.
Namun, di sisi lain, meski berpola, modus teror bisa berubah dari waktu ke waktu. Itu disebabkan kelompok teroris menerapkan strategi absurd warfare. Strategi itu punya karakteristik tidak adanya zona perang. Kelompok teroris tidak memiliki pengendalian atas suatu wilayah.
Teror bisa terjadi di backbone saja dengan ambition siapa pun. Oleh karena itu, kita harus tetap waspada. Teror masih eksis dan mengintai kita setiap saat. Intelijen harus bekerja serius mengendus potensi teror .Republik ini akan tetap eksis jika pluralisme tetap dijaga dan dihormati. Oleh karena itu, kita mendukung langkah Polri, TNI, dan berbagai elemen bangsa mempertahankan dan mencegah terkoyaknya NKRI. Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal, termasuk dalam menyelesaikan persoalan terorisme. *
.jpg)