Satelit9.com,Sukoharjo-Puluhan warga dukuh Bakaran desa Genengsari Polokarto menggelar aksi demonstrasi di halaman depan gedung DPRD Sukoharjo. Dalam aksinya warga meminta agar pt prima parquet Indonesia (PPI) yang bergerak dalam bidang industri kayu lapis tidak beroperasi lagi karena meresahkan warga. Sementara itu kalangan DPRD Sukoharjo menyatakan siap membentuk panitia khusus(pansus) yang akan menyelidiki proses perizinan pt prima parquet Indonesia(PPI). Hal tersebut dilaksanakan menyusul banyaknya penerbitan surat izin dari kantor perizinan terpadu (KPPT) terhadap PT PPI yang dinilai janggal.Dengan membawa berbagai tulisan penghentian operasional pabrik triplek PPI puluhan warga in mendatangi kantor DPRD Sukoharjo. Dalam aksinya mereka menduduki halaman depan DPRD Sukoharjo. Para warga ini menginginkan agar PT PPI yang bergerak dibidang industri kayu lapis yang terletak di desa mereka segera berhenti operasi. Hal tersebut dilakukan menyusul banyaknya polusi udara dan suara yang mengganggu dan meresahkan warga. Bahkan beberapa diantara warga mengaku sering sakit-sakitan akibat dampak pencemaran lingkungan dari pabrik tersebut.
Koordinator warga, Rahmat Santoso pihaknya prihatin dengan kondisi tersebut. Terlebih sekolah negeri ditempat tersebut yakni SMP Negeri 4 harus mengenakan masker saat kegiatan belajar mengajar. Ia menyatakan dampak dari polusi pabrik tersebut tidak hanya di desanya, tetapi di beberapa desa lain juga mengeluhkan hal tersebut. Mengaku pihaknya belum pernah menerima sosialisasi sejak berdirinya pabrik awal tahun 2011 hingga saat ini. Ia juga mengaku warga tidak pernah memberikan tanda tangan untuk izin gangguan atau HO. Ia juga menduga adanya keterlibatan makelar perizinan di KPPT sehingga pabrik tersebut bisa beroperasi di tengah-tengah pemukiman warga. Pihaknya menuntut agar DPRD Sukoharjo bisa menjembatani keluhan warga Polokarto. Mereka menginginkan agar pabrik pengolahan kayu tersebut ditutup.
Dalam aksi tersebut warga dipertemukan dengan komisi 1 dan komisi 4 DPRD Sukoharjo. Sementara itu kalangan DPRD Sukoharjo akhirnya memutuskan peninjauan kembali terhadap perizinan yang diterbitkan KPPT terhadap PT PPI. Hal tersebut diputuskan setelah dilakukan dengar pendapat antara DPRD, warga Bakaran Genengsari, kalangan eksekutif dan pihak PT PPI. Dari pengakuan warga mereka mengaku menderita selama 7 bulan lebih akibat polusi dari pabrik triplek tersebut. Meski telah melaporkan hal tersebut kepada berbagai pihak hingga saat ini tidak mendapatkan respon.
Menurut pengakuan Kepala Sekolah SMP Polokarto, Sutarno akibat polusi tersebut beberapa siswa SMP 4 Polokarto harus ketinggalan pelajaran. Pasalnya saat debu partikel limbah terbawa angin mengenai sekolah maka kegiatan belajar mengajar terpaksa berhenti. Ia mengaku PT PPI beberapa kali mendatangi sekolahnya untuk menawarkan perdamaian. Antara lain memasang AC di ruang kelas membantu dana perpustakaan hingga menawarkan pengeras suara ditiap kelas untuk mengurangi kebisingan. Bahkan ia juga mengaku dari PT PPI pernah menawarkan sejumlah uang kepadanya. Namun demikian Sutarno mengaku hal tersebut bukan merupakan solusi. Sementara dari warga juga mengaku tidak pernah menandatangani surat izin HO. Warga juga mengaku tidak ada kepedulian pabrik terhadap warga sekitar. Namun demikian pabrik tersebut tetap saja beroperasi. Warga mengiginkan agar pabrik tersebut ditutup karena belum mendapatkan persetujuan warga. Sementara itu dari PT PPI menanggapi hal tersebut akibat dioperasikannya mesin baru pembuat triplek ditempat tersebut.
Menanggapi hal tersebut kalangan DPRD dari komisi 1/4 dan ketua DPRD menyatakan siap membentuk pansus untuk menyelidiki perizinan pabrik tersebut. Selain itu mesin pembuat triplek yang beroperasi diharuskan berhenti karena belum memiliki izin amdal. Kalangan DPRD juga akan meninjau lokasi pada Senin 12 November mendatang. Kalangan DPRD juga akan mempertanyakan proses hukum yang mengakibatkan meninggalya 6 pekerja akibat robohnya bangunan pabrik beberapa tahun yang lalu kepada kepolisian. Pasalnya kuat dugaan hal tersebut tidak diproses hukum.(Arif Nuryanto)