Satelit9.com-Penempatan 2.500 personel Marinir Amerika Serikat (AS) di Darwin, Australia,Pangkalan militer AS di Darwin yang hanya berjarak 820 km (500 mil) dari Indonesia dinilai sebagai ancaman bagi situasi damai di Asia Tenggara. Sebab, hal ini dinilai dapat menimbulkan ketegangan baru.
Selama ini wilayah ASEAN merupakan zona damai dan bukan wilayah konflik. Sehingga penempatan marinir AS di sana dinilai tidak tepat.
“Memang ada wilayah yang berpotensi dapat menimbulkan ketegangan lokal, seperti masalah gugus pulau Spartly yang diklaim oleh Vietnam, Philipina, Brunei dan Cini.
Penempatan pasukan di Darwin yang merupakan jarak terdekat dari Australia ke wilayah Asean dinilainya dapat menimbulkan kecurigaan Cina terhadap peran AS di Filipina dan Taiwan.
Pihak oposisi Australia mengatakan mereka tidak mempercayai kemungkinan perluasan kehadiran militer Amerika Serikat di Australia yang merupakan tindakan provokasi terhadap Cina.
Apa sebetulnya yang menjadi agenda AS di Indonesia, Asia Tenggara bahkan Pasifik ?Militer Amerika Serikat (AS) tertarik untuk menggunakan Kepulauan Cocos di Australia sebagai pangkalan untuk meluncurkan pesawat-pesawat pengintai AS dari wilayah Australia. Namun pemerintah Australia masih mempertimbangkan keinginan AS tersebut.
Kepulauan Cocos merupakan kepulauan terpencil yang terletak di sebelah barat Samudera Hindia atau di sekitar selatan Indonesia. Wilayah itu berjarak sekitar 3.000 km sebelah barat daratan Australia dan sebelah selatan Pulau Sumatra, Indonesia
Boleh jadi penempatan pasukan AS di Australia lebih dimaksudkan untuk kepentingan lain. Seperti untuk mengantisipasi perubahan politik yang bakal terjadi di Indonesia, khususnya di Papua. Sebab secara geografis, letak Darwin lebih dekat dengan Papua ketimbang wilayah Asia Tenggara yang menjadi daerah pergerakan China.
Sementara di provinsi Papua sendiri sedang muncul penolakan oleh penduduk setempat atas PT Freeport. Padahal perusahaan yang 97% sahamnya dimiliki investor AS itu, sudah beroperasi sejak awal 1970-an.
Dalam beberapa pekan terakhir, Freeport juga terus digoyang oleh kegiatan bersifat anarkis. Warga AS sudah ada yang menjadi korban. Selain soal Freeport, penduduk lokal makin ramai mendukung perjuangan kelompok separatis yang mau memerdekakan Papua.
Di AS sendiri sudah lama terbentuk sebuah lobi yang menginginkan agar Papua didukung menjadi sebuah negara merdeka. Walaupun pemerintah AS secara resmi selalu membantah setiap tudingan yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Washington ikut bermain politik di Papua.
Selama ini wilayah ASEAN merupakan zona damai dan bukan wilayah konflik. Sehingga penempatan marinir AS di sana dinilai tidak tepat.
“Memang ada wilayah yang berpotensi dapat menimbulkan ketegangan lokal, seperti masalah gugus pulau Spartly yang diklaim oleh Vietnam, Philipina, Brunei dan Cini.
Penempatan pasukan di Darwin yang merupakan jarak terdekat dari Australia ke wilayah Asean dinilainya dapat menimbulkan kecurigaan Cina terhadap peran AS di Filipina dan Taiwan.
Pihak oposisi Australia mengatakan mereka tidak mempercayai kemungkinan perluasan kehadiran militer Amerika Serikat di Australia yang merupakan tindakan provokasi terhadap Cina.
Apa sebetulnya yang menjadi agenda AS di Indonesia, Asia Tenggara bahkan Pasifik ?Militer Amerika Serikat (AS) tertarik untuk menggunakan Kepulauan Cocos di Australia sebagai pangkalan untuk meluncurkan pesawat-pesawat pengintai AS dari wilayah Australia. Namun pemerintah Australia masih mempertimbangkan keinginan AS tersebut.
Kepulauan Cocos merupakan kepulauan terpencil yang terletak di sebelah barat Samudera Hindia atau di sekitar selatan Indonesia. Wilayah itu berjarak sekitar 3.000 km sebelah barat daratan Australia dan sebelah selatan Pulau Sumatra, Indonesia
Boleh jadi penempatan pasukan AS di Australia lebih dimaksudkan untuk kepentingan lain. Seperti untuk mengantisipasi perubahan politik yang bakal terjadi di Indonesia, khususnya di Papua. Sebab secara geografis, letak Darwin lebih dekat dengan Papua ketimbang wilayah Asia Tenggara yang menjadi daerah pergerakan China.
Sementara di provinsi Papua sendiri sedang muncul penolakan oleh penduduk setempat atas PT Freeport. Padahal perusahaan yang 97% sahamnya dimiliki investor AS itu, sudah beroperasi sejak awal 1970-an.
Dalam beberapa pekan terakhir, Freeport juga terus digoyang oleh kegiatan bersifat anarkis. Warga AS sudah ada yang menjadi korban. Selain soal Freeport, penduduk lokal makin ramai mendukung perjuangan kelompok separatis yang mau memerdekakan Papua.
Di AS sendiri sudah lama terbentuk sebuah lobi yang menginginkan agar Papua didukung menjadi sebuah negara merdeka. Walaupun pemerintah AS secara resmi selalu membantah setiap tudingan yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Washington ikut bermain politik di Papua.
