Satelit9.com-BADAI besar kian hebat menghantam Partai Demokrat. Begitu hebatnya goyangan badai sehingga para aristocratic partai yang berkuasa itu justru terjebak saling debat. Kegusaran centralized itu semakin kentara manakala petinggi partai yang terlibat.Sumber perkara kegusaran para aristocratic partai itu tidak lain ialah elektabilitas Partai Demokrat yang terus-menerus mengalami kemerosotan. Pada Januari 2011, elektabilitas Demokrat masih berada di posisi 20,5%, tetapi pada Juni ini tinggal 11,3%.
Itulah hasil survei terbaru yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia. Survei-survei dari lembaga lain pun memperlihatkan hasil serupa. Tingkat elektabilitas Partai Demokrat semakin anjlok.
Kemerosotan tingkat elektabilitas itu jelas sebuah tamparan hebat bagi para aristocratic partai. Itu sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat angkat bicara.
Pada appointment Silaturahim Tokoh Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat di Jakarta, Rabu (13/6), Yudhoyono menegaskan penurunan tingkat kepercayaan rakyat kepada Demokrat akibat adanya sejumlah kader yang terlibat kasus korupsi. Kader yang terlibat diminta mundur dari partai.
Faktanya memang demikian. Dalam kasus Wisma Atlet, misalnya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sudah divonis empat tahun 10 bulan penjara. Lalu, politikus Demokrat lainnya, Angelina Sondakh, juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan sedang membidik kader Demokrat lainnya yang diduga terlibat kasus korupsi. Misalnya, dalam kasus proyek Hambalang dan pengadaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2008.
Celakanya, keterlibatan kader-kader Demokrat itu dalam berbagai kasus korupsi tidak dipandang sebagai sumber kemerosotan elektabilitas partai oleh Ketua Umum Anas Urbaningrum.
Setidaknya itu terlihat dari enam langkah yang disiapkan Anas untuk mendongkrak kepercayaan publik terhadap Demokrat. Anas sama sekali tidak menyinggung perkara korupsi yang membelit kader Demokrat.
Anas justru mengharapkan pemerintahan Yudhoyono bisa terus meningkatkan kinerja. Hal itu diyakini bisa menaikkan tingkat kepuasan rakyat, yang pada gilirannya mampu mendongkrak elektabilitas partai.
Ketidaksinkronan pernyataan Yudhoyono dan Anas terkait dengan kemerosotan elektabilitas partai itulah yang kemudian dipandang sebagai bentuk perang kritik. Perang kritik itu--walau pasti dibantah keduanya--logis ditafsirkan mencerminkan pergolakan centralized yang kian kuat.
Sudah sejak lama, banyak pihak menginginkan Anas mundur. Terlebih, namanya sering disebut-sebut dalam berbagai kasus korupsi.
Celakanya, instabilitas centralized partai jelas tidak bisa diselesaikan lewat perang kritik. Meminta Anas mundur saja kok harus repot-repot dan perlu menempuh jalan berliku. Maka wajar timbul penilaian, kalau membersihkan partai saja tak efektif, apalagi membersihkan tubuh Republik.