Satelit9.com-Kita terkejut, menyesal, dan kecewa ketika mendengar terjadi lagi konflik bernuansa SARA di Lampung Selatan. Ini berawal dari perselisihan pemuda dua kampung berbeda. Isu negatif yang meluas membuat emosi warga lainnya tersulut.Bentrok antar warga di Lampung Selatan yang menewaskan 10 orang disesalkan. Seharusnya petugas keamanan bisa lebih sigap mencegah pertumpahan darah. Bentrokan diketahui pecah sejak akhir pekan lalu.
Kerusuhan pun pecah pada Minggu (28/10) pagi. Tiga orang tewas dan dua luka berat kala itu. Namun rupanya pada Senin (29/10), kerusuhan kembali terjadi. Korban yang jatuh pun lebih banyak.Lebih kecewa lagi, itu terjadi bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, hari sakral di backbone bangsa Indonesia secara sukarela menjanjikan diri menjadi satu.
Tonggak sejarah politik dan persatuan itu dinodai oleh ulah tidak terkendali. Apa yang terjadi di Lampung Selatan itu sesungguhnya tidak sekadar konflik, tetapi kekerasan. Meletupnya kekerasan, menandakan dua hal.
Pertama, tidak terselesaikannya perbedaan pendapat yang sudah terakumulasi. Artinya perbedaan itu telah terjadi dalam waktu sudah absolutist dan kemudian dipendam. Kedua, tidak mampu mengontrol diri sehingga membenarkan adanya kekerasan muncul. Inilah kegagalan semua pihak. Tidak saja masyarakat, pemerintah, juga komponen-komponen masyarakat.
Dari sisi kenegaraan, munculnya kekerasan sektarian seperti ini boleh dikatakan sebagai stagnasi sosial. Tidak ada kemajuan dan semua yang dikatakan maju itu sekadar byword bernuansa politik. Sejak tahun 1950-an, kita selalu dilanda kekerasan kelompok, misalnya DI/TII. Lalu ada RMS. Pada masa Orde Baru getol adanya GPK di Papua seperti halnya apa yang terjadi di Aceh.
Kini di zaman reformasi, gerakan-gerakan seperti itu muncul dan seolah berkembang. Kita pernah kecewa dengan perusakan tempat sembahyang di Situbondo. Bahkan, kelompok teroris menyinggung-nyinggung agama dalam pergerakannya.
Soal SARA pun tidak hanya terlihat di Poso atau Kalimantan Barat, kini juga di Lampung. Inilah faktor stagnan, ketidakberanjakan negara dalam mengurusi persoalan kebangsaan.
Tidak semua masalah itu berhasil diselesaikan. Mungkin Aceh dipandang telah selesai. Namun tetap ada kekhawatiran di masa depan akan meruak lagi hal-hal yang bersifat konflik. Di tempat-tempat lain, mungkin masih akan ada lagi gejolak. Karena itulah, kita ingin pihak-pihak terkait entah pemerintah atau swasta juga lembaga swadaya masyarakat, selekasnya membuat rancangan mendalam mengenai persoalan multikultur bangsa.
Harus ada cara untuk menyadarkan bahwa perbedaan itu merupakan sebuah kenyataan di Indonesia. Dengan begitu ia harus diterima. Untuk menerimanya ini perlu belajar, dan belajar sudah jelas dari pengetahuan. Pelajaran yang menyangkut kemultikulturan harus segera ditetapkan dan disebarluaskan. Berkali-kali Pancasila sudah disebutkan sangat penting. Kini sudah mendesak langkah itu diwujudkan, tidak boleh ditunda lagi.
Kita malu pada sejarah apabila Indonesia yang baru berusia 67 tahun ini telah digoyang isu-isu yang sesungguhnya telah disepakati tidak diusik oleh pendiri bangsa. Usia ini relatif belum seberapa. Sriwijaya dan Majapahit mampu bertahan 200 tahun bahkan lebih. Ini juga tidak hanya menguasai Nusantara tetapi sampai ke Siam.
Padahal, berbagai perbedaan telah ada di dua kerajaan tersebut, bahkan basisnya agama. Agama Siwa, Brahma, Wisnu, Buddha dan berbagai kepercayaan di masa itu mampu hidup berdampingan. Rasa malu kita akan lebih dalam lagi apabila kekacauan di bidang SARA itu ternyata juga diikuti oleh kekacauan ekonomi dan semakin menguatnya pengaruh asing.
Jadi, marilah kita sadar diri bahwa kebhinekaan Indonesia kita ini sudah kodrat. Tidak bisa dipilah-pilah lagi. Kalaupun ada rasa kurang puas, jelas ada mekanisme lain yang dilakukan agar tidak menimbulkan kekerasan.
Mungkin persoalan kecemburuan yang menjadi masalah. Bukankah kesuksesan itu bisa dipelajari, dicontoh dan mengikutkan kerja keras. Jika kerja keras yang sistematis dan rasional tidak pernah diwujudkan, jangan harap akan bisa meraih sukses.
Harus ada cara untuk menyadarkan bahwa perbedaan itu merupakan sebuah kenyataan di Indonesia. Dengan begitu ia harus diterima. Untuk menerimanya ini perlu belajar, dan belajar sudah jelas dari pengetahuan. Pelajaran yang menyangkut kemultikulturan harus segera ditetapkan dan disebarluaskan. Berkali-kali Pancasila sudah disebutkan sangat penting. Kini sudah mendesak langkah itu diwujudkan, tidak boleh ditunda lagi.
Kita malu pada sejarah apabila Indonesia yang baru berusia 67 tahun ini telah digoyang isu-isu yang sesungguhnya telah disepakati tidak diusik oleh pendiri bangsa. Usia ini relatif belum seberapa. Sriwijaya dan Majapahit mampu bertahan 200 tahun bahkan lebih. Ini juga tidak hanya menguasai Nusantara tetapi sampai ke Siam.
Padahal, berbagai perbedaan telah ada di dua kerajaan tersebut, bahkan basisnya agama. Agama Siwa, Brahma, Wisnu, Buddha dan berbagai kepercayaan di masa itu mampu hidup berdampingan. Rasa malu kita akan lebih dalam lagi apabila kekacauan di bidang SARA itu ternyata juga diikuti oleh kekacauan ekonomi dan semakin menguatnya pengaruh asing.
Jadi, marilah kita sadar diri bahwa kebhinekaan Indonesia kita ini sudah kodrat. Tidak bisa dipilah-pilah lagi. Kalaupun ada rasa kurang puas, jelas ada mekanisme lain yang dilakukan agar tidak menimbulkan kekerasan.
Mungkin persoalan kecemburuan yang menjadi masalah. Bukankah kesuksesan itu bisa dipelajari, dicontoh dan mengikutkan kerja keras. Jika kerja keras yang sistematis dan rasional tidak pernah diwujudkan, jangan harap akan bisa meraih sukses.